Jacob Oetama & BPPN 1999
Siang itu saya dan Glenn Yusuf, Ketua BPPN, Badan Penyehatan Perbankan Nasional, diterima Pak Jakob Oetama di ruang kerjanya di Kompas. Bukan ruang kerja yang mewah, bahkan sangat sederhana menurut saya. Furnitur nya cenderung tua, dominasi warna pelitur kayu coklat adalah nuansa kantornya. Desain yang sudah kedaluwarsa. Jujur cukup mengagetkan saya, mengingat dia adalah orang yang begitu hebat.
Hal yang mengagetkan saya lagi adalah kerutan wajahnya, ya saat itu dia sudah cukup sepuh usianya sudah 67 tahun. Rambutnya agak gondrong dan sudah beruban di sana-sini. Sedang saya masih berusia 30 tahun dan Glenn 44 tahun saat itu. Dua generasi yang berbeda.
Namun saat dia bicara saya kaget lagi, suaranya begitu besar, dalam, macho, dan bariton, serta njawani. Wuih seperti suara raja-raja Jawa. Anehnya suaranya seperti memiliki vibrasi yang bisa menggetarkan hati. Mirip kita mendengarkan suara bass lewat surround speakers. Belum pernah saya mendengar suara seperti itu.
Saat itu wajahnya berbinar-binar menyambut kami, demikian juga body language nya. Baru kali itu kami bertemu tapi sepertinya sudah kenal lama.
Pembicaraan kami saat itu banyak ketawa nya daripada seriusnya, dengan bangga dia bilang berapa pajak yang group Kompas bayar ke pemerintah, sambil sesekali dia tanya kepada beberapa pimpinan Kompas yang hadir menemani, tentang kepastian angkanya.
Dan belum Glenn Yusuf bicara, dia sudah bilang, kami dukung BPPN untuk menangani krisis saat itu. Selanjutnya pembicaraan kami mengalir dengan rileks dan itu tadi, penuh gelak tawa. Saya dan Glenn Yusuf tentu tertawa tertata rapi, namun dia tertawa lebih lepas.
Pertemuan tersebut memang di tengah-tengah krisis ekonomi Indonesia yang sangat parah di 1999. Selain itu juga saat reformasi. Dan kami BPPN harus menghadapi berbagai mafia white collar crime baik para mafia lama dari orde sebelumnya, juga para mafia baru muncul yang memanfaatkan situasi reformasi saat itu.
Pertemuan tersebut untuk berterima kasih atas dukungan konkrit dia selama itu dan butuh dukungan selanjutnya. Tapi kata-kata itu justru tidak ada sama sekali di percakapan kami saat itu. Dan memang tidak perlu ada, karena sejak awal kami merasakan kesamaan ROH perjuangan kami untuk Indonesia yang lebih baik.
Oleh
Christovita Wiloto
Sekretaris BPPN 1998 - 2000