29 TAHUN PAPA SOEWARNO PRAWIRO WILOTO DI SORGA
Sore 5 Desember 1991 Papa menghembuskan nafas duniawinya terakhir kalinya di UGD Rumah Sakit MMC Jakarta. Setelah hampir seminggu koma dibantu berbagai peralatan medis.
Saat meninggal seluruh keluarga inti berkumpul di tempat tidur Papa, saling bergandengan tangan kami berdoa dan menyerahkan Papa pada Tuhan Yesus Kristus.
Di akhir doa kami Rumah Sakit menghentikan semua alat bantu medis dan tiiiiit suara nyaring dari alat bantu medis itu menandai bahwa Papa telah meninggal secara medis.
Anehnya saat itu tidak ada kesedihan, walau pasti air mata menetes deras. Yang ada adalah damai sejahtera yang belum pernah keluarga kami rasakan, rasanya sangat hangat juga di dada, penuh hangat.
Kebetulan di luar ruang UGD MMC telah banyak handai taulan yang menjenguk, mereka terdiam, menyaksikan proses perginya Papa, detik demi detik dari balik jendela kaca yang lebar.
Selama seminggu itu saya, sebagai anak terbesar dan satu satunya lelaki, setiap malam sampai pagi selalu berjaga di luar ruang UGD. Di sana tidak boleh gelar tikar untuk tiduran, jadi saya tidur sambil duduk di ruang tunggu.
Posisi tidur duduk seperti itu jelas tidak nyaman, saya jadi tidur-tidur ayam. Setidaknya setiap 1.5 jam saya terbangun dan saya ke jendela kaca ruang UGD. Dari luar saya bisa ngintip Papa saya dari sela-sela vertical blinds, keren plastik.
Saat malam pertama sekitar jam 2 pagi, saya mengintip Papa di UGD, saya kaget tapi penuh damai sejahtera. Saya melihat sosok tinggi, setinggi tiang infus di sebelah Papa berbaring tak berdaya.
Saya amati dadanya sangat bidang, saat itu saya jarang melihat orang setinggi itu dengan dada sebidang itu. Kelak setelah sering keluar negeri saya bisa memahami nya. Walau sosok itu harus diakui jauh lebih gagah, tinggi dan berdada bidang lebih dari rata-rata manusia di dunia.
Rambutnya panjang dan saya lihat keemasan. Wajahnya diam prihatin melihat penderita Papa saya yang terbaring tak berdaya di UGD. Saya mencoba melihat wajahnya lebih jelas lagi, karena suasana UGD temaram, walau saya dengan para tenaga medis tetap bercanda dengan suara kecil ditambah suara musik perlahan.
Wajahnya tampan dan yang sangat berkesan bagi saya adalah bersinar lembut (tidak terang benderang) dan penuh damai sejahtera yang luar biasa bagi saya yang melihat wajahnya.
Hati saya bergitu bergejolak gembira, itu sosok Tuhan Yesus Kristus ! Saya yakin sekali, walau antara ada dan tidak, terbukti nampaknya hanya saya yang melihat Tuhan Yesus Kristus di sana. Para medis tak ada satupun yang melihat.
Dan sejak itu, setiap kali saya ngintip Papa di UGD, saya selalu melihat Tuhan Yesus Kristus berdiri di situ. Di sebelah Papa, tepat dekat kepala Papa. Berdiri tenang dan terus memandangi Papa.
Besok malamnya begitu juga, malam selanjutnya begitu juga, sampai malam terakhir Papa di UGD.
Tapi saya diam tidak pernah menceritakan ini pada siapapun, karena saya kuatir itu hanya halusinasi saya saja. Dan ini adalah intimasi saya pribadi dengan Papa dan Tuhan Yesus Kristus.
Pada saat Papa disemayamkan di rumah kami di Cilincing, adik saya Erdin bersaksi dia melihat Papa memakai beskap putih dan membawa rangkaian Anggrek Unggu berjalan di depan Mama dan adik-adik kemudian berhenti di depan saya dan menyerahkan rangkaian Anggrek Unggu itu pada saya.
Terbaring di peti mati, Papa mengenakan beskap hitam dengan rangkaian Anggrek Putih. Jadi yang dilihat adikku Erdin kebalikannya.
Semua kejadian itu aku simpan dalam hati, terus menerus aku renungkan sampai sekarang.
Ternyata meninggal bukan suatu yang mengerikan dan menyedihkan, tetap ada rindu, selalu ada tangis, tapi bukan tanpa harapan. Karena Tuhan Yesus Kristus telah menebus kami dan Papa kami kini di Sorga. Papa terus bekerja pekerjaan Sorgawi, antara lain terus mendoakan kami.
Hari ini kami berkumpul bersama keluarga bersyukur pada Tuhan Yesus Kristus atas Papa.